Bebas, tapi Tegas.

Kali ini saya akan cerita tentang keponakan saya lagi.

Minggu lalu adalah minggu pertama tahun ajaran baru untuk sebagian besar sekolah. Para orangtua sibuk mengantarkan anak-anaknya menjalani hari pertama . Tak sedikit yang mengajak sang anak ke sekolah dari dini hari buta agar dapat tempat duduk idaman. Semua bersemangat mengantarkan sang buah hati masuk sekolah. Tak terkecuali bagi keponakan saya yang minggu lalu resmi menjalani hari pertamanya sebagai siswa Taman Kanak-Kanak.

Ia akan bersekolah di salah satu TK di dekat rumah. Selama ini, ia biasanya banyak menghabiskan waktu di rumah, bermain bersama keluarga. Karena kedua orangtua nya sama-sama bekerja, selama di rumah biasanya ia ditemani oleh tante atau neneknya. Namun kali ini agak berbeda, mengingat tantenya sudah bekerja dan neneknya yang baru pulang sore, akhirnnya disepakati setelah pulang sekolah ia akan dititpkan sementara ke baby care di TK tersebut sampai sore, sampai ada orang rumah yang pulang.

Hari pertama sekolah kemarin ibunya sengaja cuti 1 hari. Jadi setelah pulang sekolah dia langsung pulang ke rumah. Semuanya berjalan normal. Tidak ada masalah yang timbul di hari pertamanya sekolah. Kalau pada beberapa anak lain, ada anak yang takut sekolah karena kesulitan adaptasi, Alhamdulillah keponakan saya ini tidak. Di hari kedua, Ibunya kembali bekerja sehingga sepulang sekolah nanti dia akan main dulu di baby care. Hari kedua ini dia diantar oleh tantenya sebelum kerja. Dia gembira, senang, bahkan setibanya di sekolah, ia sampai bilang ke tantenya “uda kamu pulango ya te, aku mau sekolah dulu”. Sore harinya tantenya datang menjemput, keponakan saya berlari kea rah tante dengan menangis. Dari guru-guru TK, tantenya mendapat laporan kalau keponakan saya ini seharian menangis mencari tantenya.

Puncaknya di hari ketiga, ia menangis sejadi-jadinya tidak mau sekolah. Ia baru mau berangkat sekolah jika ditemani oleh tantenya. Sesampainya di sekolah, ia tidak mau berpisah dengan tantenya. Ia memaksa tantenya untuk tetap ada di dalam kelas. Kebanyakan orangtua jika mendapati situasi semacam ini, biasanya jika tidak langsung memarahi anak karena rewel, atau berbohong pada anak dengan mengatakan akan menunggu lalu kemudian pergi diam-diam. Keponakan saya ini bisa dibilang cerdas. Ia tahu kalau seseorang berbohong padanya. Misal, kita bohong pergi sebentar untuk beli sesuatu padahal kita mau kerja, dia tahu. Dan kalau dia tahu kita bohong, dia bisa makin menjadi-jadi marahnya. Mengetahui hal ini, akhirnya tantenya menunggu di dalam kelas. Pertimbangan lainnya adalah agar tujuan utama hari-hari pertama ia sekolah tercapai, yaitu kenal lingkungan baru, berinteraksi dengan teman-teman baru, dan menimbulkan rasa nyaman bersekolah.

Melihat tantenya menunggu di dalam kelas, salah satu guru di TK tersebut menyuruh tantenya untuk keluar kelas diam-diam dengan agak memaksa. Sialnya, keponakan saya tahu. Ia langsung gulung-gulung dalam kelas dan lari keluar memeluk tantenya. Imbasnya dia tambah nempel tidak mau kembali ke dalam kelas. Saat perpindahan kelas, tantenya mengantar kembali ke kelas. Tantenya memohon untuk hari ini ia diijinkan untuk masuk. Guru-guru yang lain mengerti dan memperbolehkan, sambil membantu memberi pengertian ke keponakan saya kalau hari ini boleh ditunggu di dalam, tapi besok nunggunya harus di luar. Sayangnya ada salah satu guru yang tak memperbolehkan dan tetap menyuruh keluar diam-diam, kali ini diakhiri dengan sindiran yang cukup pedas. Mendengar hal itu, tantenya membalas dengan cukup keras “dia tidak bisa dibohongi, kalau sekarang berbohong, bisa-bisa dia makin tidak percaya. Kalau besok-besok malah tidak mau sekolah bagaimana?” balas tantenya dengan nada agak tinggi. Drama hari itu berakhir dengan si guru pergi meninggalkan tatapan tidak menyenangkan pada tantenya.

Perkiraan sementara, keponakan saya merasa tidak nyaman dengan suasana baby carenya, bukan suasana belajar di TK nya. Walaupun belum mendapat jawaban yang pasti, melihat bagaimana sikap oknum salah satu guru dalam mengajar anak, besar kemungkinan asumsinya adalah ketidaknyamanan karena cara mendidik anak yang kurang tepat. Memang jika dibandingkan dengan anak-anak yang lain, mengasuh keponakan saya ini perlu kesabaran dan ketelatenan yang lebih besar. Ia sedang aktif-aktifnya, banyak bertanya, supel, dan kalau sudah rewel menangisnya bisa keras sekali. Jadi bisa dibilang ia agak sedikit berbeda dengan anak-anak seusianya kebanyakan. Dan biasanya kita cenderung menyamaratakan cara memperlakukan anak pada semua tipe kepribadian anak. Kita cenderung menyamakan cara berpikir orang dewasa dalam menyelesaikan masalah, daripada berpikir bahwa anak-anak masih belum memiliki kemampuan dan logika berpikir sebaik orang dewasa. Masih belum bisa membedakan yang baik dan buruk, yang benar dan salah, masih lebih didominasi insting dan nafsu.

Kita sebagai orang dewasa baik orangtua dan guru perlu memahami bahwa setiap anak terlahir berbeda sifat dan kepribadiannya. Dan setiap perbedaan tidak dapat diselesaikan dengan cara yang sama (kecuali kalau kita bahas hukum dan aturan ya, ini konteksnya beda). Maka dari itu bagi saya kunci sukses mendidik anak adalah dengan memahami sepenuhnya karakter anak dan membangun kepercayaan dengan anak sedini mungkin. Kita harus bisa eksplor kebutuhan dan keinginan anak, tidak disamaratakan dengan stereotype yang ada, tidak dibandingkan dengan “standar” anak lain. Semua anak spesial. Tidak bisa dididik dan diperlakukan dengan cara yang sama.

Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa tidak ada yang namanya standar dalam mendidik dan memperlakukan anak. Setiap anak berbeda. Setiap anak punya kecenderungan masing-masing, yang mungkin tidak sama dengan yang lain. Pertanyaannya adalah, kalau begitu apakah tidak perlu ada batasan sama sekali dalam mendidik anak? Tentu ada. Bagi saya, batasannya adalah tuntunan agama, nilai-nilai akhlak, dan nilai-nilai kebaikan. Artinya batasan yang kita pahamkan ke anak bukan batasan dari subjektifitas atau kemauan personal kita tapi harus bersumber dari sesuatu yang objektif dan benar. Saya tahu membahas definisi kebenaran disini hanya akan berujung pada perdebatan tanpa akhir karena setiap orang punya definisi kebenarannya masing-masing. Bagi saya yang muslim, batasan yang jelas adalah mengacu pada ajaran agama yang diturunkan Allah melalui Rasul-Nya. Syariat agama yang diturunkan itulah kebenaran bagi saya. Saya tidak akan memaksa Anda untuk harus mengikuti kebenaran yang saya yakini, dan Anda pun tidak boleh memaksa saya mengikuti kebenaran yang Anda yakini.

Sebisa mungkin hindari pembatasan saat mendidik anak yang bersumber dari subjektifitas personal. Misalnya, kita tidak mengapresiasi gambar anak karena kita ingin dia lebih pintar dalam bidang lain. Ini tidak boleh. Tapi kalau semisal kita mengajak anak untuk shalat karena sudah adzan sementara anak masih bermain. Lalu kita ajak dia secara bertahap. Mulai dari memberikan iming-iming hadiah sampai penegasan jika usianya sudah lebih dewasa, bagi saya Ini tidak masalah karena memang tindakan kita berasal dari kebenaran yang hakiki.

Di era serba bebas seperti sekarang, penanaman soal batasan justru sangat diperlukan. Mana yang boleh mana yang tidak. Mana yang baik mana yang tidak. Mana yang benar mana yang salah. Di saat banyak orangtua begitu membebaskan anak dengan membolehkannya berkata kasar, berpakaian kurang pantas dengan dalih memberikan kebebasan dan menyayangi anak, hanya demi mengejar title parent goals, orangtua idaman, orangtua panutanque. Mendokumentasikan keseharian anak hingga hal-hal yang (maaf) kurang penting sekalipun, mengunggahnya di sosial media, mempercantiknya dengan caption yang indah, mengejar likes dari para netizen, berlomba-lomba agar kita terlihat lebih baik dari yang lain.

Batasan dalam mendidik anak tetap diperlukan. Namun ingat, membatasi anak, bukan berarti mengekang dan melarang tanpa memahamkan. Namun harus dibarengi dengan pemberian pemahaman pelan-pelan, dengan proses, tahap demi tahap, agar anak memahami batasan yang diberikan orangtua sebagai sesuatu yang baik bagi mereka, bukan sebaliknya. Meskipun hal ini perlu waktu. Dan ingat, memahamkan pada anak harus dilakukan dengan cara yang sesuai dengan karakter anak. Untuk itu kembali ke kunci mendidik anak di atas, pahami karakter anak dan bangun kepercayaan sedini mungkin.

Sekali lagi, tulisan ini bukan untuk menggurui pembaca sekalian. Saya pun belum punya anak dan belum menikah. Namun semoga ada nilai-nilai kebaikan dari Allah yang tersampaikan melalui tulisan di atas. Kondisi yang dihadapi tiap orangtua bisa jadi sangat berbeda, dan kembali lagi perlu penanganannya yang berbeda pula. Ambil yang baik, tinggalkan yang buruk. Semoga tulisan ini ada manfaatnya untuk kita semua. Selamat hari anak nasional. 🙂

Leave a comment