Lahirnya Republik Nyinyir dan Ideologi Tuh-kanisme

Tulisan ini disalin dari http://delmarzf.blogspot.com/2014/06/lahirnya-republik-nyinyir-dan-ideologi.html dengan judul yang sama. Tulisan yang menarik karena membuka wawasan saya akan potensi masalah mental dan karakter yang timbul dalam Pemilu tahun ini. Semoga bermanfaat.

Beberapa bulan terakhir, iklim media sosial semakin panas. Pemilihan presiden yang akan diselenggarakan 9 Juli besok ternyata membawa dampak yang besar di beberapa bulan terakhir. Dampak yang sebenarnya mungkin sepele, tapi setelah saya pikir-pikir kembali bisa sangat mengkhawatirkan. Sejelek-jeleknya, mungkin bisa menghancurkan asas ke-3 Pancasila : Persatuan Indonesia. Sebelum saya lanjut, saya mau bilang dulu bahwa berhubung saya bukan mahasiswa jurusan sosial atau humaniora, sangat-sangat bisa jadi apa yang saya tuliskan salah. Mohon maklum, di bangku kuliah saya cuma belajar tentang bikin onggok sama gaplek.

Pilpres 2014 adalah ajang pemilihan presiden paling unik setelah masa reformasi. Untuk pertama kalinya pemilihan presiden hanya terdiri dari dua pasang calon. Sebelum-sebelumnya calonnya lebih dari dua, meski tetap direduksi jadi dua di pemilu putaran dua. Hal ini membuat pilihan masyarakat menjadi sangat kontras. Pilih Prabowo, atau pilih Jokowi. Bulat.

234Beda dengan tahun-tahun sebelumnya saat pilihan-pilihan yang dibuat tidak terlalu solid. Katakanlah saat pemilu 2004, ada 5 pasang calon yang bertarung, yakni Amien Rais-Siswono Yudho Husodo (PAN), Hamzah Haz-Agum Gumelar (PPP), Megawati-Hasyim Muzadi (PDIP), SBY-JK (Demokrat, PBB, PK), dan Wiranto-Shalahudin Wahid (Golkar). Sementara itu di tahun 2009 ada 3 pasang calon, Megawati-Prabowo, SBY-Boediono, dan JK-Wiranto. Di tahun 2004 distribusi suara merata sekali, dengan partai-partai besar (PDIP, PAN, PPP, Demokrat, dan Golkar) masing-masing punya calonnya sendiri-sendiri.

hasil pemilihan presiden 2004, atas : periode 1 ; bawah : periode 2

Meskipun calonnya berkurang menjadi 3 di tahun 2009, fenomena yang terjadi malah SBY vs non-SBY, karena ketokohan SBY dalam 5 tahun pemerintahan 2004-2009 sudah terlanjur lekat. Tahun 2004 dan 2009 juga belum marak kampanye via social media. Rasanya dulu bahkan tidak pernah terbayang kampanye partai dan capres via media Facebook/Twitter.

SBY effect, menang jauh di atas lawan-lawannya

Tahun 2014, kita hanya punya dua pasang calon, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Distribusi dukungan partai, meskipun lebih banyak di koalisi Prahara, cenderung berimbang. Di tahun ini juga masyarakat Indonesia melek socmed, termasuk menyuarakan dukungan mereka di Facebook, Twitter, dan lalala.

Sayangnya, yang disuarakan tidak hanya dukungan untuk jagoannya, tapi juga nyinyiran sinis untuk siapapun musuhnya.

~~~

Jadi sebenarnya nyinyir secara harfiah menurut KBBI adalah :

nyi·nyir a mengulang-ulang perintah atau permintaan; nyenyeh; cerewet: nenekku kadang- kadang — , bosan aku mendengarkannya ;

Sementara yang selama ini kita anggap (atau paling tidak saya) sebagai arti dari nyinyir lebih dekat kekerabatannya dengan sinis. Melenceng sih sebenarnya, tapi ya sudah lah #apalahakuini. Nyinyir lebih enak ditulis, dan beraura lebih busuk dibanding sinis. Nyinyir. Kesannya jahat sekali. Saya suka.

Saya menganggap sikap-sikap nyinyir ini begitu mengganggu. Penyinyir setia adalah mereka yang fanatik sekali terhadap capres jagoannya. Masalahnya adalah sikap nyinyir ini seringkali menutupi kebaikan orang-orang yang dinyinyirkan (apakah ini kata yang benar?).

Seolah-olah, semua yang dilakukan selain jagoannya adalah salah. Setidaknya itu yang dapat ditarik dari isi timeline Facebook dan Twitter mereka, dan media-media pendukung capres yang bersangkutan. Pilihannya hanya dua, memberitakan kebaikan jagoan saya, atau memberitakan kesalahan musuh saya. Titik.

Satu contoh kecil, beberapa tulisan para pendukung Prabowo nyinyir tentang kerja Jokowi. Orang berbuat nyata, kerja dengan benar dibilangnya pencitraan. Kan agama mengajarkan prasangka baik, apa baiknya berburuk sangka sama kerja orang lain? Apalagi kalau ‘kerja’nya memang benar-benar terasa. Munafik rasanya bagi orang-orang Jakarta bila mengatakan bahwa TIDAK ADA perubahan di Jakarta selama Jokowi menjadi Gubernur. Bagi mereka yang pernah mengurus surat-surat di kelurahan akan mengetahui bahwa proses birokrasi saat ini sudah diperbaiki dan lumayan memuaskan. Normalisasi waduk, bagi orang-orang nyinyir ini juga tidak ada artinya, padahal gubernur sebelum-sebelumnya tidak pernah ada yang mampu melakukannya. Kalau tentang diliput media ya menurut saya wajar saja, seorang capital major, dengan pendekatan dan gaya yang baru sedang bekerja dengan cara yang berbeda dari pendahulunya. Gimana ga jadi mangsa media? Kenapa harus Jokowi yang seolah-olah disalahkan atas kerjanya? Dituduh pencitraan pula. Aneh dan jahat.

salah satu perubahan signifikan waduk Ria Rio era pemerintahan Jokowi

Contoh kecil lain adalah saat Prabowo melakukan jabat tangan saat menyetujui usulan Jokowi tentang ekonomi kreatif di debat capres kedua. Bagi saya yang sedang nonton live, saya sangat terkesan dengan sikap Prabowo. Gentle. Jantan. Macho. Kalau memang baik kenapa harus tidak setuju? Tapi beberapa netizen pro-Jokowi menganggap itu sebagai bendera putih, tanda menyerah. Kata mereka “a good debater never agree. Once he agrees, it means surrender”. Ya karena bagi saya Prabowo berdiri di sana bukan sebagai debater. Prabowo bersikap seperti itu sebagai seorang negarawan. Bagi saya harus jadi teladan, kenapa harus dipermasalahkan?

sikap Prabowo saat menyetujui usulan Jokowi tentang ekonomi kreatif di debat capres kedua

Atau simak juga ketika Prabowo menanyakan balik tentang TPID ke Jokowi. Apa salahnya? TPID adalah sesuatu yang mikro, dan para pendukung Jokowi langsung merespon itu seolah-olah ketidaktahuan tentang TPID adalah kegagalan besar bagi seseorang yang mencalonkan diri sebagai presiden. Lebay.

Betapa hebatnya sikap nyinyir bisa menutupi semua kebaikan.

~~~

Acep Iwan Setiadi, Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB, dalam opininya Semiotika Politik Pilpres yang dimuat dalam Kompas, 21 Juni 2014, mengatakan:

“Ini Perang Badar,” demikian lebih kurang Amien Rais. Tanpa keterangan ‘badar’ pun, perang merupakan metafora mengerikan. Dalam perang, apa pun sah dilakukan. Perang hanya punya satu kebijakan, yakni menghancurkan lawan.

Saya menghormati Amien Rais, tetapi saya tidak setuju dengan ucapan beliau yang ini. Masa iya kita saling menghancurkan saudara-saudara sebangsa kita sendiri cuma gara-gara beda pilihan. Agak berlebihan.

Rakyat harus diingatkan bahwa segala perang, perdebatan dan kenyinyiran ini harus berakhir setelah masa pencoblosan (9 Juli) berakhir. Berdasarkan survei Litbang Kompas (21/6/14) dengan pertanyaan “Jika Pilpres 2014 dilakukan saat ini, siapakah yang Anda pilih?” menunjukkan 35.3% memilih Prabowo-Hatta, 42.3% memilih Jokowi-JK, dan 22.4% belum menentukan pilihan. Jokowi memang unggul, tetapi keberadaan 22.4% massa mengambang ini jauh lebih menentukan. Keunggulan 7% terhitung sangat tipis. Keduanya masih punya peluang menang.

Interpretasi data yang lain dari hasil survey Kompas adalah bahwa kemungkinan Prabowo atau Jokowi akan menang dengan keunggulan tipis. Tidak telak. Tebakan mode dukun saya mengatakan siapapun yang menang tidak akan menang dengan selisih lebih dari 10 persen.

Data Kompas juga menyebutkan, bahwa jumlah pemilih yang resisten (menolak) terhadap Prabowo-Hatta sebesar 33.6 persen, sementara yang menolak Jokowi-JK berkisar 30.6 persen. Bayangkan, siapapun yang menang dalam Pilpres tahun ini akan memimpin rakyat yang sekitar +- 30% menolak dirinya.

Kalau anggapan ‘perang’ dan rangkaian kenyinyiran ini tidak berakhir sampai setelah 9 Juli, maka siapapun presiden terpilih kita nanti akan menjadi ‘musuh’ bagi ratusan juta penduduknya sendiri. Sedih gak sih bro?

~~~

Tulisan ini semata-mata dibuat karena saya semakin bosan dengan pemberitaan hitam-putih yang selama ini dilakukan oleh media pendukung pasangan calon dan para pendukungnya yang entah kenapa setia sekali share berita-berita dan mendebatkan sesuatu yang, ah sudahlah. Setia sekali sampai saya muak.

Sejujurnya saya termasuk ke dalam 22.4% massa mengambang yang belum menentukan pilihan, dan ragam informasi di Facebook, Twitter dan lalala bukan membuat saya semakin yakin, tetapi membuat saya semakin muak. Afiliasi politik sih boleh aja, share berita juga boleh aja, tapi bosan juga lama-lama setiap harinya selalu ada saja berita-berita nyinyir busuk setia hinggap di news feed akun Facebook saya.

Saya hanya takut, setelah 9 Juli nanti, orang-orang yang dengan setianya bersikap nyinyir ini melahirkan ideologi tuh-kanisme.

weh ideologi apa lagi itu om?

Setelah 9 Juli dan pasca pengumuman resmi penghitungan hasil pemilu. Pasti ada yang kalah di antara Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK. Ideologi tuh-kanisme adalah ideologi yang dianut oleh salah satu pendukung fanatik yang jagoannya kalah, lalu menjalani 5 tahun ke depan penuh dengan kalimat,

“Tuh kan, mending si xxxx aja presidennya. Kalau si xxxx yang jadi presidennya pasti perekonomian Indonesia jauh lebih baik dari ini.”
“Tuh kan, coba si xxxx presidennya, negara kita pasti kuat. Amerika pasti takut sampai ngompol lawan Indonesia kalau presidennya xxxx.”
“Tuh kan Indonesia gagal lolos Piala Dunia. Coba presidennya si xxxx, Brasil bisa kita cukur, Italia bisa kita libas!”

 

Ideologi tuh-kanisme adalah ideologi para pengandai, dan mengandai-andai adalah hal yang mengerikan.

Indonesia harus diingatkan. Diingatkan bahwa setelah hasil pilpres keluar maka negara ini akan mempunyai satu pasang presiden dan wakil presiden. Satu saja. Betapa mengerikannya ketika setelah pilpres keluar tetapi tingkah orang-orang Indonesia tidak jauh berbeda dengan masa kampanye. Kita harus berubah.

Siapapun capres jagoannya, tetap harus siap dan rela dipimpin oleh siapapun presidennya.

Kalau kita tetap begini-begini saja, saya takut segala kebijakan dari Istana Negara hanya akan menjadi olok-olok rakyatnya, yang setiap harinya dengan nyinyir mendengungkan kalimat “Tuh kan, coba si xxxx presidennya…..”

2 comments

  1. Wah corak kucingmu persis kyk punyaku mas hehe #salahfokus . Tp saya jg termasuk 22,4% loh. Bingung siapa yg bs dititipin amanah pegang kuasa pemerintahan di negeri segede indonesia ini. Yg kalau dr sby ke ambon saja lbh mahal drpd sby ke KL. Tp klo g milih nanti ujung”nya nyesel knp g milih utk prubahan indonesia yg lbh baik. Huh. Galau ya

    1. Liat calonnya, pelajari karakternya, pelajari visi misinya, lihat orang orang yang mendukungnya baru tentukan pilihan mbak. Kalau saya sih mencoba gitu. Cuma memang sampe sekarang belum nentukan pilihan. Hehe.

Leave a comment