Saat saya kecil, saya sempat agak pilih-pilih makanan. Bukan karena alasan kesehatan, tapi murni karena manja. Saya tidak akan makan kalau tidak disuapi chiki oleh Ibu saya. Satu sendok nasi, lalu satu bola-bola chiki. Begitu seterusnya. Kebiasaan ini berlanjut saat SD. Kalau kami sekeluarga makan di restoran padang maka yang saya makan hanyalah nasi + bumbu lengkuas ayam gorengnya. Hanya bumbu, tanpa ayam goreng. Kalau kami sedang makan nasi goreng maka saya tidak akan makan sayurnya. Saat itu saya hanya mau makan daging dan bumbu ayam, dan sama sekali tidak suka sayur dan sejenisnya. Jadi tidak heran kalau sedang makan di luar, terutama saat berkunjung ke rumah saudara atau acara keluarga, orangtua saya agak geleng-geleng kepala memilihkan makanan.
![](https://i0.wp.com/www.bubblews.com/assets/images/news/1636826042_1387102280.jpg)
Gado-gado. Semua rasa jadi satu.
Mungkin karena melihat saya yang terlalu pilih-pilih makanan, ayah saya sempat menasehati “Sayur itu adalah makanan alami. Paling mudah didapat. Kalau suatu saat semua makanan habis, kamu mau tidak makan ?” Dulu saya hanya menganggap angin lalu omongan ayah. Namun setelah semakin dewasa, rasanya saya mulai memahami bahwa ada filosofi luar biasa yang bisa kita dapatkan dari kebiasaan tidak memilih-milih makanan, terutama untuk anak-anak kita.